Dampak Krisis Iman Anak pada Pernikahan

Pdt. Dr. Paul Gunadi

Artikel ini menekankan bahwa tugas utama seorang ayah bukanlah mengendalikan anak-anaknya, melainkan memvalidasi mereka. Validasi berarti mengakui keberadaan anak dan menunjukkan bahwa mereka penting, cukup baik, dan berharga, melalui kata-kata serta tindakan. Artikel ini menjelaskan bagaimana anak-anak sering kali menafsirkan tindakan orang tua sebagai refleksi diri mereka, serta pentingnya validasi dalam perkembangan emosional anak. Selain itu, dijelaskan pula bagaimana validasi yang salah, seperti memberikan pujian palsu, sebenarnya tidak membantu anak dalam jangka panjang.

Artikel ini membahas tentang dampak krisis iman yang dialami anak terhadap pernikahan dan hubungan orang tua.

Ketika seorang anak meninggalkan iman Kristen, orang tua seringkali mengalami guncangan emosional yang hebat, seperti rasa kaget, marah, dan kecewa.

Dampaknya pada pernikahan, antara lain:

  1. Saling Menyalahkan: Orang tua cenderung saling menyalahkan atas keputusan anak meninggalkan iman. Hal ini dapat menimbulkan konflik dan merusak hubungan.
  2. Perbedaan Pendapat dalam Menghadapi: Perbedaan cara pandang dan pendekatan dalam menghadapi krisis iman anak dapat menyebabkan perselisihan dan ketidakharmonisan.
  3. Merasa Sendirian: Orang tua, terutama yang lebih religius, merasa sendirian dan tidak mendapat dukungan dari pasangan. Hal ini dapat menyebabkan pasangan menjauh dan hubungan menjadi hambar.
  4. Terbatasnya Pelayanan: Orang tua, terutama yang aktif dalam pelayanan, mungkin harus mengurangi atau membatasi kegiatan mereka. Perubahan drastis ini dapat menimbulkan tekanan dan stres dalam pernikahan.

Penting bagi pasangan suami istri untuk saling mendukung, berkomunikasi secara terbuka, dan mencari titik temu dalam menghadapi krisis iman anak. Ingatlah bahwa iman dan harapan kepada Tuhan untuk mengembalikan anak kepada-Nya adalah kunci untuk menjaga keutuhan pernikahan.